Selasa, 19 Mei 2015

KONSEP ISLAM DALAM FAKTOR – FAKTOR PRODUKSI ISLAMI

 KONSEP ISLAM DALAM FAKTOR – FAKTOR
PRODUKSI ISLAMI
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT yang mengatakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Semua sumberdaya yang terdapat di langit dan di bumi disediakan Allah SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya). Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana prinsip produksi islam?
2.      Apa saja faktor-faktor produksi?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Produksi dalam Islam
Menurut teori produksi konvensional, Produksi pada dasarnya yaitu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa yang kemudan dimanfaatkan oleh konsumen. Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan pandangan kata produksi dalam bahasa arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Dalam perspektif Islam, produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Pemahaman lebih lanjut produksi dalam Islam memiliki arti sebagai bentuk usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber produksi yang diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat Al-Maidah ayat 87:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحَرِّمُوا۟ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Al-Ghazali salah satu ekonom Islam yang sangat concern terhadap teori produksi dalam kehidupan masyarakat. Beliau sering menggunakan kata kasab dan islah yang berarti usaha fisik yang dikerahkan manusia dan yang kedua dalam upaya manusia untuk mengelola dan mengubah sumber-sumber daya yang tersedia agar mempunyai manfaat yang lebih tinggi. [1]
Jadi dapat ditarik kesimpulan dari beberapa definisi produksi dalam Islam diatas, yaitu suatu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa dengan mengubah faktor-faktor sumber produksi yang dihalalkan dalam Islam untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani untuk mencapai falah.
B.     Prinsip Produksi[2]
Dalam ekonomi konvensional, seorang diberikan hak untuk memproduksi segala sesuatu yang dapat mengalirkan keuntungan kepadanya, meskipun itu kontradiksi dengan kemaslahatan material dan moral masyarakat. Adapun dalam ekonomi Islam, seorang produsen muslim harus komitmen dengan kaidah – kaidah syariah untuk mengatur kegiatan ekonominya.
Dan, dalam fiqih ekonomi Umar Radhiyallahu anhu dapat ditemukan kaidah – kaidah produksi yang bisa kami jelaskan yang terpenting diantaranya sebagai berikut:
1.      Kaidah Syari’ah
Yang dimaksud kaidah syari’ah disini bukan dari sisi halal dan haram saja, namun lebih luas lagi mencakup  tiga sisi, yaitu: akidah, ilmu dan amal.
Pertama : Akidah
Demikian itu adalah dengan keyakinan seorang muslim bahwa aktifitas dalam bidang perekonomian merupakan dari perannya dalam kehidupan, yang jika dilaksanakan akan menjadi ibadah  baginya.
Pada sisi lain, bahwa produsen  seorang muslim berkeyakinan bahwa hasil usahanya, keuntungan yang diraihnya dan rizki yang didapatkannya adalah semata – mata karena pertolongan Allah dan takdirnya.
Kedua : Ilmu
Seorang muslim wajib mempelajari hukum – hukum syari’ah yang berkaitan aktifitas perekonomiannya, sehingga dia mengetahui apa yang benar dan yang salah di dalamnya, agar muamalahnya benar, usahanya lancer dan hasilnya halal.[3] 
Ketiga : Amal
Sisi ini merupakan hasil aplikasi terhadap sisi akidah dan sisi ilmiah, yang dampaknya Nampak dalam kualitas produksi yang dihasilkan oleh seorang muslim dan dilemparkannya ke pasar.
Sesunggunya kualitas produksi dalam ekonomi konvensional berkaitan dengan kondisi permintaan riil yang didukung dengan daya beli. Maka, segala hal yang memenuhi keinginan manusia yang disertai kemampuan finansial, lebih laik diproduksi, dan masuk dala kategori produk yang dilemparkan ke pasar.
Sedangkan dalam ekonomi islam,  kualits produksi tunduk terhadap hokum syari’ah yang ditetapkan pencipta alam semesta. Karena itu apa yang diperbolehkan syari’ah laik diproduksi dan dilemparkan ke pasar, sedangkan yang diharamkan syari’ah, seorang muslim tidak boleh maju untuk memproduksinya.
2.      Prinsip Akhlaq
Seorang muslim tidak boleh menganggap cukup hanya karena  produksinya halal, tapi dia harus mencermati bahwa sarana dan cara produksinya juga mubah; sebagaimana dia juga harus menjauhi aktifitas produksi yang berdampak buruk terhadap masyarakat, meskipun pada dasrnya mubah.[4]
Sesunggunya prinsip akhlaq mengharuskan keterkaitan seorang produsen muslim dengan akhlaq yang mulia dan menjauhi akhlaq yang buruk yang membahayakan disebabkan proses produksi, seperti kebohongan, kecurangan, merugikan orang lain, dan lain – lain.
 Sedangkan kajian ekonomi konvensional tidak memperhatikan korelasi akhlaq dan ekonomi. Nampaknya, bahwa diantara sebab terpenting ketertelanjangan ekonomi dari akhlaq adalah pandangan Eropa dalam memisahkan agama yang merupakan sumber akhlaq dari segala bidang kehidupan (sekularisme), termasuk dalam bidang ekonomi. Sebab mereka beranggapan bahwa ilmu ekonomi tidak akan tegak selama belum terpisah sepenuhnya dari nilai – nilai dan akhlaq.
Karena semakin besarnya keburukan dan madharat akibat pemisahan elemen – elemen akhlaq dan social dari kehidupan perekonomian, maka muncullah suara – suara di barat yang menyerukan pentinya factor –faktor (etika) tersebut dan mengaitkannya dengan elemen – elemen ekonomi . padahal masalah yang masih menjadi  perdebatan dalam ekonomi konvensional ini telah dinilai sebagai masalah yang pasti dalam ekonomi islam sejak empat belas Abad silam. Dimana maslah ini merupakan aksiomatik yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan akhlaq merupakan asas bagi setiap hokum, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang – bidang lainnya.
3.      Kualitas
Kualitas produksi mendapat perhatian para produsen dalam ekonomi Islam dan konvensional. Akan tetapi terdapat perbedaan sinifikan diantara kedua pandangan ekonomi ini dalam penyebab adanya perhatian masing – masing terhadap kualitas, tujuan, dan caranya. Sebab semata – mata untuk merealisasikan tujuan materi. Boleh jadi, tujuan tersebut merealisasikan produk yang bisa dicapai dengan biaya serendah mungkin, dan boleh jadi mampu bersaing dan bertahan dengan produk serupa yang di produksi orang lain. Karena itu, acap kali produk tersebut menjadi tidak berkualitas,  jika beberapa motivasi tersebut tidak ada padanya; seperti produk tertentu yang ditimbun karena tidak dikawatirkan adanya persaingan. Bahkan sering kali mengarah kepada penipuan, dengan menampakkan barang yang buruk dalam bentuk yang nampaknya bagus untuk mendapatkan keuntungan setinggi mungkin.
Adapun dalam ekoni islam, maka kualitas produk tidak hanya berkaitan dengan tujuan materi semata, namun sebagai tuntutan islam dalam seluruh bidang kehidupan, sebab prinsip dasarnya, bahwa seorang muslim selalu berupaya menekan kualitas semua perkerjanya dan memperbagus seluruh produknya.
4.      Memperhatikan skala prioritas produksi
Penilaian keuntungan sebagai tujuan akhir bagi produsen dalam ekonomi  konvensional adalah menjadikan keuntungan sebagai pandangan utama bagi para produsen dalam ekonomi konvensional; sehingga mereka memberikan prioritas produk – produk yang mengalirkan keuntungan lebih banyak. Tidak samar lagi, bahwa keuntungan berkaitan dengan kesesuaian interaktif kekuatan penawaran dan permintaan. Jika permintaan terhadap barang apapun  bertambah, harga menjadi semakin naik; sehingga produsen mengarah kepada penambahan produksi barang tersebut, karena mengharapkan keuntungan yang timbul akibat kenaikan harga. Sebaliknya, hal ini juga akan menjadi dalam kondisi menurunnya permintaan.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, beragam tujuan produksi di dalamnyamengharuskan untuk mengarahkan produksi kepada perealisasi tujuan-tujuan tersebut, dan memperhatikan sesuai urgensinya dalam merealisasikan tujuan tujauan syari’ahsehingga ia memberikan prioritas terhadapa produksi barang kebutuhan primer sebelum kebutuhan sekunder, dan kebtuhan sekunder sebelum tersier.  Tapi, hal ini tidak berarti mengabaiakan keuntungan usaha dan jumlah biaya yang ditanggung produsen untuk mendirikannya, sebab, keuntungan, pengembagan harta dan menjaganya merupakan tujuan mendasar bagi produsen muslim.

C.    Faktor – Faktor Produksi
Produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi.[5] Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui jenis atau macam-macam dari faktor produksi.[6] Macam faktor produksi secara teori terbagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
1)       Tanah
Islam telah mengakui tanah sebagai suatu factor produksi. Dalam tulisan klasik, tanah yang dianggap sebagai suatu faktor produksi penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi, umpamanya permukaan bumi, kesuburan tanah, sifat-sifat sumber-sumber daya udara, air, mineral, dan seterusnya.
Baik al-qur’an atau sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah secara baik. Al-qur’an menaruh perhatian akan perlunya mengubah tanah kosong menjadi kebun-kebun dengan mengadakan pengaturan pengairan dan menanaminya dengan tanaman yang baik. Dalam al-qur’an dikatakan:
“dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasannya kami menghalau hujan kebumi yang tandus, lalu kami tumbuhkan dengan air hujan tanam-tanaman yang daripadanya dapat makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri......(Q.S As-sajadah : 27)

   Aisyah meriwayatkan bahwa nabi pernah berkata: ”siapa saja yang menanami tanah yang tiada pemiliknya akan lebih berhak atasnya”, (HR. bukhari). Karena islam mengakui pemilikan tanah bukan penggarap, maka diperkenankan memberikannya pada orang lain untuk menggarapnya dengan menerima sebagian hasilnya atau uang, akan tetapi bersamaan dengan itu dianjurkan agar seorang yang mampu sebaiknya meminjamkan tanahnya tanpa sewa kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Pemanfaatan dan pemeliharaan tanah sebagai faktor produksi juga bisa dianggap sebagai sumber alam dan dapat habis dalam kerangka suatu masyarakat ekonomi islam.[7]
Seorang muslim dapat memperoleh hak milik atas sumber-sumber daya alam setelah memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat. Penggunaan dan pemeliharaan sumber-sumber daya alam itu dapat menimbulkan dua komponen penghasilan, yaitu:
(a) penghasilan dari sumber-sumber daya alam sendiri (sewa ekonomis murni) dan
(b) penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan sumber-sumber daya alam melalui kerja manusia dan modal.
Menurut pandangan islam smber daya yang dapat habis adalah milik generasi kini maupun generasi-generasi masa yang akan datang. Generasi kini tidak berhak untuk menyalah gunakan sumber-sumber daya yang dapat habis sehingga menimbulkan bahaya bagi generasi yang akan datang.
2)      Tenaga kerja
Buruh merupakan factor produksi yang diakui disetiap sistem ekonomiDalam islam, buruh bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa abstrak yang yang ditawarkan untuk dijual pada para pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang mempekerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial.
Dalam islam buruh digunakan dalam arti yang lebih luas namun lebih terbatas. Lebih luas, karena hanya memandang pada penggunaan jasa buruh diluar batas-batas pertimbangan keuangan. Terbatas dalam arti bahwa seorang pekerja tidak secara mitlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.
3)       Modal
Modal telah  menduduki tempat yang khusus dalam ekonomi islam. Dalam hal ini kita cenderung menganggap modal “Sarana produksi yang menghasilkan”. tidak sebagai faktor produksi pokok, melainkan sebagai suatu perwujudan tanah dan tenaga kerja. Pada kenyataannya modal dihasilkan oleh pemakaian tenaga kerja dan penggunaan sumber-sumber daya alam. Dalam karya-karya Wicksell, hal ini adalah “suatu keseluruhan tunggal yang terpadu dari tanah dan tenaga kerja yang tersimpan, tertumpuk bertahun-tahun lamanya”. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat bebas bunga, modal dapat diperlakukan dalam pengertian yang digunakan dalam produksi kapitalistik
Hukuman berat bagi mereka yang menyalahgunakan kekayaan untuk merugikan masyarakat, Allah berfirman:
            “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala, kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” (Q.S,  Al Haqqah, 69:30-32).
Modal tumbuh dari tabungan-tabungan yang memungkinkan terciptanya barang-barang modal. Tetapi terciptanya barang-barang modal itu tergantung pada dua hal yang berlawanan: konsumsi sekarang yang berkurang dan harapan akan produksi yang meningkat di masa mendatang
4)      Organisasi
Dalam suatu analisis ekonomi sekular konvensional, laba dihubungkan dengan pendapatan seorang pengusaha. Ini dianggap sebagai imbalan manager yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber-sumber daya manusia maupun bukan manusia. Demikianlah bagaimana organisasi muncul sebagai factor produksi. Dalam hal ini timbul pertanyaan yang menentukan: Apakah ciri khas “Islam” mengenai organisasi sebagai factor produksi? Dan apakah ciri-ciri khusus organisasi Islam?
            Pertama, dalam ekonomi Islam yang pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manager cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi dividen dikalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra suatu usaha ekonomi. Sifat motivasi organisasi demikian sangatlah berbeda dalam arti bahwa mereka cenderung untuk mendorong kekuatan-kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudaraba, musharika, dan lain-lain).

Kedua, sebagai akibatnya, pengertian tentang keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak dapat dinaikan lagi.Modal manusia yang diberikan manager harus diintegrasikan dengan modal yang berbentuk uang. Dengan demikian pengusaha penanaman modal dan usahawan  menjadi bagian terpadu dalam organisasi di mana keuntungan biasa menjadi urusan bersama.
Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketepatan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan dalam organisasi secular mana saja, yang para pemilik modalnya mungkin bukan merupakan bagian dari manajemen. Islam menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalm urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan.
            Yang terakhir, adalah bahwa factor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang berdasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.[8]

D.    Biaya Produksi
Biaya produksi adalah semua pengeluaran perusahaan untuk memperoleh factor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilakan barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut. Untuk analisis produksi perlu diperhatian dua jangka waktu, yaitu:
1.      Jangka panjang, yaitu jangka waktu dimana semua factor produksi dapat mengalami perubahan.
Dalam jangka panjang perusahaan dapat menambah semua factor produksi yang akan digunakan, dengan demikianm biaya produksi tidak perlu dibedakan antara biaya tetap dan berubah, di dlam jangka panjang tidak ada biaya tetap, semua pengeluaran merupakan biaya berubah, karena dalam jangka panjang, perusahaan boleh merubah kapasitas produksinya.
2.      Jangka pendek, yaitu jangka waktu dimana sebagian factor produksi dapat berubah, dan sebagian lainnya tidak dapat berubah.
-          Biaya total yaitu keseluruhan jumlah biaya produksi modal dikeluarkan.
-          Biaya tetap rata-rata yaitu apabila biaya tetap total untuk memproduksi barang tertentu dibagi dengan jumlah produksi tersebut.
-          Biaya rata-rata yakni apabila biaya biaya berubah total untuk memproduksi sejumlah barang di bagi  dengan jumlah produksi tersebut.
-          Biaya total rata-rata yaitu apabila biaya total untuk memproduksi sejumlah barang tertentu dibagi dengan jumlah barang tersebut.
-          Marginal cost adalah kenaikan biaya produksi yang digunakan untuk menambah produksi.



























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam perspektif Islam, produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
seorang produsen muslim harus komitmen dengan kaidah – kaidah syariah untuk mengatur kegiatan ekonominya
Macam faktor produksi secara teori terbagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
1.      Tanah
2.      Tenaga kerja
3.      Modal
4.      Organisasi (manajemen)



Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kritik dan saran yang kontruktif itu yang kami harapkan, demi bahan penyempurnaan makalah kami selanjutnya. Dan sangat disadari, kami sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari ketidaksempurnaan tentunya banyak kesalahan serta kekurangan. Oleh sebab itu kami mohon ma’af. Semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at fiddin fiddunya wal akhirah, ami








DAFTAR PUSTAKA
Manan, M Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
Suherman Rosyidi. Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006
Masyhuri. Ekonomi Mikro. Malang: UIN Malang Press. 2007
DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, fiqih Ekonomi umar bin Al-Khathab,Jakarta: Khalifa; (Pustaka Al Kautsar Grup), 2006




[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami. 2007. hlm: 102
[2] DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, fiqih Ekonomi umar bin Al-Khathab.2006. hlm: 63-81
[3] Lihat sayyid sabiq, Fiqh As-Sunnah (3:224)
[4] Lihat, DR. Syauqi Ahmad Dunya, Durus Al- Iqtishadiyyah Min Manzhur Islami. hlm. 114
[5] Suherman Rosyidi. Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006. hlm. 55.

[6] Masyhuri. Ekonomi MikroMalang: UIN Malang Press. 2007. hlm. 125.

[7] Manan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,hal.54.

[8] Ibid, hlm. 57-63

PERSOALAN INTERNASIONALITAS DAN NASIONALITAS DALAM HUKUM ISLAM

3
PERSOALAN INTERNASIONALITAS DAN NASIONALITAS DALAM HUKUM ISLAM
A.        Hubungan Antar Bangsa dan Negara dalam Darus Salam
Hukum internasional adalah seatu tata hukum dengan ketentuan-kententuan yang mengatur pergaulan antara Negara dan dalam rangka itu mengatur pula hubungan di antaranya.
Pendapat Grotius digaris bawahi prof.Baron Michelde Tubb,seorang guru besar di bidang ilmu hukum internasional pada akademi ilmu Negara di Den Haag yang dalam salah satu pidatohnya tahun 1936,menegaskan bahwa sesungguhnya bagi hukum internasional itu banyak dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar yang terdahulu diletakkan oleh agama islam,teru-tama sekali yang bertalian dengan hukum perang dan damai.yng demikian itu dapat dibuktikan apabila kita menelusuri data sejarah dunia dan pertumbuhan serta perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa di bidang hukum laut dan pantai.
Dr.Arminazi di dalam buku”hukum internasional dalam islam”men-jelaskan bahwa ahli-ahli hukum internasional di eropa telah mengakui dimana kenyataanya dari bukti-bukti sejarah bahwa hukum islam men-jadi sumber terpanting bagi dasar-dasar hukum internasional yang ada sekarang.
Oleh sebab itu hukum islam yang tegak di atas agama islam ini merupakan hukum yang bersifat”alamiyah”,dan “universal”,bukan mekaniyah yang bersifat lokal.
Maka dari itu hukum islam datang membawa kebahagiaan bagi alam seluruhnya,bukan hanya untuk satu golongan.surat Al An Biya’ ayat 107 menegaskan yang artinya: “dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad),melainkan untuk menjadi  rahmat bagi  semesta alam “.Ayat ini di kuatkan dengan firman Allah dalam surat Al-A’rof ayat 158 yang artinya:”Hai manusia sesungguhnya aku(Muhammad)adalah utusan allah kepadamu semua,…”.Surat Saba “ayat 28 lebih lanjut mengatakan yang artinya:”Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad),melainkan kepada imat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan peringatan,tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.
Perinsip-perinsip hukum islam mengenai hukum internasional ini selanjutnya lebih menekan kepada nilai-nilai moral dan etika,karna tuntunan rasa kesadaran tunduk kepada moral-moral agama,di mana akhlakul karimah dijadikan landasan utama bagi tegaknya hukum islam .Maka dari iti perinsip-perinsip hukum islamdalam hubungan internasional  menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia dengan mengakui hak-hak musuh,baik dimasa perang atau damai.
B.        Perinsip Internasionalitas Dan Nasionalitas Dalam Hukum Islam
Hukum islam melangkah jauh tinggi lebih tinggi dari itu.ia menyerukan agar seluruh umat manusia yang berlainan  asal kebangsaan,warna kulit dan agamanya menegakkan persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh,sehingga humanisme bener-bener terwujud dalam alam kehidupan,seperti apa yang diitibarkan dalam firman Allah surat Al hujurat ayat 13 yang artinya:
Hai manusia ,sesungguhnya kami (Allah) menciptakan kamu seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu ber bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal,sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.sesungguhnya Allah maha menetahui lagi maha mengenal.”
Hukum islam meskipun secara ideal adalah hukum yang bersifat universal berlaku untuk seluruh bangsa dan negar,akan tetapi kenyataanya hanya berlaku bagi bangsa dan Negara –negara yang di dalamnya tegak kekuasaan pemerintah islam.
Dengan demikian berlakunya hukum islam sangat erat kaitanyadengan kekuasaan yang ada dan berkembang di suatu Negara .
4
HUBUNGAN ANTAR NEGARA MENURUT HUKUM ISLAM
A.        Hubungan antara Bangsa dan Negara dalam Darus Salam.
Darus Salam adalah Negara yang di dalamya berlaku hukum islam sebagi hukum perundang-undangan atau Negara yang penduduknya beragama islam dan dapat menegakkan hukum islam sebagai hukum perundang-undangan\hukum positip.
Sehubungan dengan itu maka penduduk darus salam dapat dibedakan menjadi 3 golongan yakni:
1.         muslim,yaitu semua orang islam baik warga Negara maupun orang asing.
2.         zimmi,yaitu semua warga Darus Salam yang beragama seperti yahudi, nasrani, majusi, hindu, budha, aliran kepercayaan bahkan mungin atheis sama sekali tdak beragama.
3.         musta’min atau mu’ahid, yaitu warga Negara asing non muslim yang mungkin untuk sementara di negara Darus Salam untuk suatu keperluan seperti berdagang, sebagai anggota krop diplomatic seperti duta besar Negara sahabat dan sebagainya.
B.        Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Kufar
Yang dimaksud dengan Darul Kufar menurut jumhur fuqoha’ ialah semua Negara yang tidak berada dibawah kekuasaan umat islam, atau yang di dalamnya tidak Nampak berlakunya ketentuan-ketentuan hukum islam baik terhadap penduduknya yang beragama islam, ataupun non muslim.
Dalam Negara-negara darul kufar maka penduduk negeri dapat di bedakan atas 2 kelompok, yakni:
1.         Muslim ialah yang beragama islam.
2.         non muslim atau kafir, ialah yang beragama lain
Penduduk non muslim yang tinggal menetap di darul kufar dan sebagai warga Negara dinama orang kafir ”Harbiyin”. Dalam teori fiqih siyasah orang-orang kafir tersebut tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya dan tidak terjamin keselamatannya dinegeri Darus Salam sebelum ada diantara mereka suatu perjanjian dengan Negara-negara Darus Salam, akan tetapi apabila seorang kafir Harbi dari suatu Negara Darul Kufar telah mengadakan suatu perjanjian damai dengan Negara Darus Salam, sehingga dia dapat dipandang sebagai musta’min atau mu’ahid, maka dia akan terpelihara jiwanya dan harta bendanya sewaktu memasuki Darus Salam, tetapi jaminan keamannya sangat terbatas. Selama dalam tempo yang telah diberikan kepadanya.
Seorang islam dan zimmi, yang masuk kenegara –negara darul kufar dengan ijin penguasa negeri untuk menetap sementara, disebut juga musta’min sebagaimana orang-orang non muslim masuk ke darus salam. Apabila seorang muslim atau zimmi untuk sementara menetap di darul kufar, maka hal itu tidaklah akan merubah kedudukannya sebagai muslim atau zimmi, selama dia tidak murtad dari agamanya dan mereka boleh kembali kenegeri darus salam diwaktu kapan saja.